Kini kita tak perlu seperti orasi Bung Tomo yang menggelorakan jihad melawan penjajah saat menolak Belanda hadir kembali di Surabaya. Kita juga tidak perlu ditandu keluar-masuk hutan seperti Jenderal Besar Soedirman yang hidup dengan separuh paru-paru. Mereka berdua jelas pahlawan. Namun, apa yang dilakukan sukarelawan sekarang tiada berbeda dengan jasa pahlawan merebut kemerdekaan Indonesia.
Lamban
Yang ironis ialah, di tengah filantropi luar biasa ditunjukkan warganya, pemerintah kita malah lamban dalam melakukan langkah. Bencana tsunami di Mentawai, misalnya, menjadi contoh betapa rumitnya birokrasi di negeri ini. Kapal milik pemerintah yang akan mengangkut bantuan ke pulau itu malah mesti menjalani arus birokrasi yang ribet. Bantuan yang dikirim pun akhirnya centang-perenang. Makin miris saat Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno malah pergi ke Jerman untuk mempromosikan Sumatera Barat. Sungguh sebuah langkah yang di luar akal sehat. Saat rakyatnya membutuhkan support dari kepala daerah, yang diharap malah memilih "melancong".
Wasior di Kabupaten Teluk Wondama juga tak bisa kita lupakan. Setelah sebulan dipasok bantuan, kekurangan pangan kini mengancam penduduk Wasior yang masih bertahan. Untuk makan pun mereka sudah mengandalkan hasil hutan. Saking ingin makan dengan lauk, penduduk Wasior bahkan rela menangkap kelelawar sebagai santapan!
Lagi-lagi kita menemukan betapa birokrasi di negeri ini tidak responsif dengan bencana yang membutuhkan kerja cepat dan tuntas.
Merapi yang masih mengerupsi hingga saat ini seharusnya menjadi ujian yang harus dilalui dengan sukses oleh pemerintah. Jangan lagi lamban untuk bertindak. Segenap bantuan harus diatur sedemikian rupa sehingga semua pengungsi mendapatkan haknya. Kebutuhan pangan, sandang, dan papan mereka—dalam skala minimal—harus dipenuhi.
Pemerintah harus menjadikan momentum Hari Pahlawan sebagai ajang unjuk kebolehan mengurus warganya. Bertindaklah dengan segera. Responsiflah terhadap sesuatu yang butuh penanganan segera. Dan yang lebih penting, ketika ancaman bencana sudah hilang, pulihkan seperti sedia kala. Rumah yang terbakar dan rusak harus diperbaiki. Tanaman dan binatang ternak yang mati harus diberikan ganti rugi yang manusiawi.
Bencana memang merekatkan manusia dalam ranah kemanusiaan yang teramat luhur. Bantuan yang meluncur dari hati yang ikhlas adalah sumbangan yang terkira nilainya. Namun, sebagai entitas yang punya abdi negara, selayaknya semua kekuatan filantropi ini diatur oleh negara. Institusi itulah yang diharapkan menjadi jenderal yang mengatur semua lini negeri ini. Pemerintah, jangan lamban!
artikel juga bisa di baca di halaman ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar