Beberapa hari lalu saya melihat sebuah iklan tentang
kecantikan dari dove. Judulnya dove real beauty sketches atau kalau dibahasakan
menjadi sketsa kecantikan alami. Terus terang saya menyukai ide iklan ini.
Sekali lagi ide bukan produknya.
Inti dari iklan ini adalah hati-hati dengan persepsi. Bahwa
lebih banyak perempuan yang merasa dirinya jelek. Hal itu terlihat dalam
penjelasan mereka ketika diminta mendeskripsikan wajah mereka. Ada yang
mengatakan memiliki wajah yang bulat. Ada yang bilang pipinya tembem. Ada yang
bilang rahangnya keras. Singkatnya mereka merasa mereka tidak cantik.
Tapi kemudian, dimasukan adegan penjelasan oleh pihak ketiga
tentang wajah sang ‘model’. Entah karena diatur atau bagaimana, penjelasan yang
kedua lebih manis. Ada yang bilang, dagunya langsing. Rambutnya bagus. Matanya
berbinar. Pokoknya 180 derajat dibandingkan dengan penjelasan si pemilik wajah.
Adegan kemudian dilanjutkan dengan ditunjukan wajah dari
kedua penjelasan tersebut. Ada dua sketsa yang bertolak belakang. Si pemilik
wajah terkejut—lebih tepatnya tidak bias berkata-karta—bahkan ada yang
menangis. Kemudian diakhir kalimat yang klise, you’re more beautiful than you
think.
Lupakan bahwa unilever sedang menyasar pasar baru. Lupakan
ada standar ganda di perusahaan tersebut (iklan axe yang sangat seduktif dan
dove yang edukatif), saya hanya ingin focus pada kalimat di terakhir iklan.
“you’re more beautiful than you think”.
Perempuan memang makhluk yang unik. Entah kenapa persepsi
dari orang lain lebih dominan dalam karakternya. Perempuan-tunjuk diri
sendiri-selalu merasa kalah cantik jika dibandingkan dengan yang lain-tunjuk
model di majalah-.
Makanya tidak heran jika belanja kosmetiknya cukup tinggi.
Bahkan saya pernah menghabiskan hampir 200 ribu hanya untuk belanja make up.
Untung saja, suami tidak pernah complain untuk yang satu ini. Karena belanja
kosmetika saya tidak setiap bulan. Hanya jika benar-benar kehabisan dan sangat
butuh baru beli.
Tapi, saya juga mempunyai kebiasaan buruk. Ingin mencoba hal
baru. Apalagi jika melihat iklan di majalah, televisi selalu mengelitik hati
untuk membeli produknya. Hal ini memang wajar, karena iklan memang diciptakan
untuk merangsang naluri konsumtif kita. Bagaimana bisa? Editor, Rance Cain
pernah mengatakan bahwa hanya 8 persen pesan dari iklan yang diterima oleh
otak. Sisanya, bekerja dan terus bekerja hingga tertanam di otak.
Saya ambil contoh, iklan rokok yang tayang di atas jam 10
malam. Dalam setiap iklannya, selalu digambarkan pria yang menarik secara
visual (ganteng, atletis), sukses (punya mobil, motor), gaul (teman laki dan perempuannya banyak).
Padahal kalau mau jujur, yang mengonsumsi rokok tidak seperti itu. Kalaupun ada
hanya berapa persen sih jumlahnya, pasti kalah dengan masyarakat kelas menengah
kebawah yang perokok. Tidak pernah juga ditampilkan bahaya merokok. Kalaupun
ada hanya berupa tulisan kecil dibawah label.
Lalu iklan shampoo. Kenapa modelnya selalu berambut lurus
panjang? Bagaimana dengan saya yang berambut keriting?. Atau teman saya yang rambutnya
pendek. Ah, sudahlah jadinya kok malah ngedumel.
Intinya begini, iklan selalu memutarbalikan logika. Di
negara tropis sosok perempuan ideal adalah berkulit putih, sehingga semua
produk pemutih wajah dan kulit selalu laku. Sedangkan perempuan di belahan
dunia yang lain (eropa dan amerika utara) dicekoki bahwa perempuan cantik
adalah yang berkulit kecoklatan. Tidak heran salon yang menawarkan tanning atau
minimal bronzer laris manis.
Iklan memang media yang paling efektif untuk meningkatkan
penjualan. Omset perdagangan kosmetik nasional pada 2013 diproyeksi mencapai Rp11,2 triliun atau naik 10-15 persen dari omset tahun ini. Kenaikan ini tentu
saja dipicu oleh semakin tingginya permintaan produk.
Jadi jangan pernah mengatakan bahwa, “saya tidak pernah akan
terpengaruh iklan” atau “saya selalu melewatkan iklan setiap menonton
televisi”. Iklan itu ada di televisi, majalah, baliho, spanduk, selebaran, bus,
angkot, bahkan jejaring sosial pun tidak luput dari iklan.
Kembali lagi dalam posting ini yang saya ingin tegaskan adalah tag line dari iklan itu.
Bahwa cantik itu ada di dalam diri. Jangan hanya menelan mentah-mentah semua
yang diberikan oleh media. Termasuk iklan yang saya nilai edukatif ini. Tentu ada strategi marketing dalam pembuatan iklan ini, tapi kita ambil nilai positifnya saja.
Apakah setelah menonton saya iklan ini lantas membuat saya
membuang maskara, eyeliner, bb cream, dan lipstik saya? Oh, tidak. Tentu saja
tidak. Tapi saya akui iklan ini membuat saya lebih menghargai kecantikan. Semua
orang cantik. Karena tuhan tidak pernah membuat barang yang jelek. God never
create ugly people.
Cantik itu menghargai tradisi |
Cantik itu kearifan |
Cantik itu bahagia foto: Magforwoman |
Foto pertama dari sini.
Foto kedua dari sini.