Rabu, 30 November 2011

Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya!



Beberapa waktu lalu, saya pernah mengikuti sebuah diskusi bersama teman-teman dari KPA Bandarlampung. Di forum itu mereka mengeluh betapa sulitnya menghapus stigma orang terinfeksi HIV/AIDS. Dan sialnya, secara tersirat salah satu penyebar stigma tersebut adalah kami, para jurnalis.

Kami menyebarluaskan pandangan negatif tentang penderita HIV/AIDS melalui kalimat-kalimat dalam pemberitaan. Misalnya, penggunaan kata ‘terjangkit’. Kami juga bersalah karena tidak up date istilah-istilah di kalangan HIV/AIDS. Seperti masih menggunakan kata orang dengan HIV/AIDS (ODHA) padahal saat ini istilah yang digunakan adalah Orang Terinfeksi HIV (OTH). Kami masih berkutat dengan istilah pekerja seks komersil (PSK) padahal kini ada istilah Wanita Pekerja Seks (WPS).

Saya sempat berdiskusi ringan dengan suami, tentang pengunaan istilah-istilah ini. Menurut suami, ini adalah penghalusan makna. Istilah kerennya eufisme. Dan karena kita berbicara tentang manusia, tidak ada salahnya mengikutinya.

Okelah untuk masalah ini, saya secara pribadi mulai memperbaiki diri. Membiasakan menggunakan istilah-istilah terkini dari dunia itu. Bisa karena terbiasa, benar kan?

Sulitnya Menghapusnya Stigma

Menghapus stigma OTH tidak semudah membalikan telapak tangan. Jika bertanya ke masyarakat tentang HIV/AIDS, pasti yang terlintas adalah penyakit akibat perilaku seks yang menyimpang. Pria yang suka main ke lokalisasi, gonta-ganti pasangan, dan homoseksual. Hal itulah yang digembar-gemborkan pemerintah melalui berbagai kampanye. Mulai dari bagi-bagi kondom, hingga kampanye seks aman bagi WPS.

Apakah itu salah? Tentu tidak. Hubungan seks yang tidak aman merupakan salah satu penyebab terinfeksi HIV. Tapi ini bukanlah penyebab satu-satunya. Hanya menyosialisasikan dampak hubungan seks yang tidak aman, justru semakin melanggengkan stigma HIV/AIDS adalah penyakit kelamin.

Kita pasti masih ingat surat terbuka dari Melanie Subono kepada Menteri Tifatul Sembiring. Menkominfo itu berkicau tentang HIV/AIDS di dunia maya. Sayangnya, apa yang dikicaukan sang menteri justru semakin melangengkan stigma tersebut.

Menteri Tifatul mengambarkan AIDS sebagai Akibat Itunya Dipakai Sembarangan. Hah.. Maksudnya apa ini. Tidak heran, kalau banyak komentar negatif kepada menteri yang satu ini.

Padahal kalau mau berusaha sedikit saja, kita akan mendapatkan definsi HIV/AIDS yang benar. Dari laman aidsindonesia.or.id, dijelaskan bahwa HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia, dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Sehingga orang yang terinfeksi virus ini, mengalami penurunan kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS merupakan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Jadi sekali lagi, HIV/AIDS bukan penyakit kelamin.

Kementerian Kesehatan merilis, secara kumulatif, hingga Juni 2011, penularan AIDS melalui hubungan seksual yang tidak aman mencapai 54,8%. Diikuti pengunaan jarum suntik yang tidak steril sebanyak 36,2%, lelaki seks lelaki (2,9%), perinatal (2,8%), dan tidak diketahui (3%).

Hingga Juni 2011, jumlah kasus AIDS di Indonesia yang terlapor mencapai 26.483. Dengan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Artinya, penderita AIDS laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

Dari rilis yang sama, angka kematian OTH menurun dari 46% pada 2006, menjadi 22% pada 2010. Menurunnya angka kematian ini juga merupakan bukti, jika OTH dapat menjaga kondisi tubuhnya, harapan hidupnya juga tinggi.

Bandingkan dengan kanker serviks, yang kini menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian. Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita tertinggi di dunia. Setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks, dan lebih dari 8.000 kasus berakhir dengan kematian.

Jadi, sekali lagi, jauhi virusnya bukan orangnya!

gambar dari sini

Bandarlampung, Lampung  



Jumat, 11 November 2011

Ini Tentang Manusia




Pekan lalu, sebelum pulang ke rumah, saya menyempatkan diri bermain ke sekretariat AJI Bandarlampung. Beberapa hari sebelumnya, seorang teman memberitahu bahwa sejumlah pengurus KPA ingin ngobrol dengan teman2 jurnalis. Bermodalkan niat silaturahmi sekaligus menambah wawasan saya pun menyangupi.

Diantar suami, saya pun sampai ke lokasi. Meski terlambat lebih dari setengah jam, saya akhirnya sampai di lokasi. Untung saja, acara baru dimulai. Jadi saya tidak banyak kehilangan informasi. Sejumlah pengurus KPA sudah terlihat. Beberapa sudah familiar, tapi ada juga wajah-wajah baru yang belum pernah saya lihat. Beberapa rekan jurnalis  terlihat di dalam ruangan.

Pengurus KPA, Rendi membuka pertemuan kecil tesebut. Setelah petatah petitih sedikit, kami pun sampai di inti diskusi.

"Banyak istilah-istilah dalam pemberitaan teman-teman yang justru menjadi stigma bagi orang terinfeksi HIV/AIDS," keluhnya. "Misalnya kata 'terjangkit' virus..Memangnya kami ini apa, kok terjangkit. Kami ini terinfeksi. “

Mungkin bagi banyak orang apa sih bedanya terjangkit dengan terinfeksi. Toh, tidak mengubah kenyataan bahwa di tubuhnya ada virus HIV. Saya juga sulit mencari perbedaannya di kamus. Tapi setelah berdiskusi singkat dengan suami, saya pun tahu bahwa ini adalah eufisme. Penghalusan makna. Sama seperti kata wafat, mangkat, meninggal, dan tewas.



Dan setiap kali berbicara tentang HIV/AIDS, kita bicara mengenai manusia. Kita bicara tentang kehidupan. Ada kebutuhan dari manusia untuk dimanusiakan. Ada keinginan untuk dihargai. Bahwa mereka bukan sekedar statistik yang diumbar setiap awal Desember. Bahwa mereka adalah individu yang memiliki cerita, memiliki mimpi, memiliki semangat, memiliki nama.

Di kesempatan itu saya bertemu dengan banyak individu yang hebat. Ada istri yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya. Ada seseorang yang masih bisa hidup meski sudah belasan tahun terinfeksi HIV/AIDS. Ada seorang pria yang masih bisa melihat sisi humor dari stigma HIV/AIDS. Dan masih banyak lagi yang lain. Jika melihat dari semangat mereka, cara bicara mereka, insyaallah mereka mampu bertahan. Jadi picik sekali jika mengaitkan HIV/AIDS dengan moralitas.

Terinfeksi HIV/AIDS bukan akhir dari segalanya. Toh, jumlah penderita kanker paru-paru lebih banyak daripada mereka yang meninggal karena HIV/AIDS.

Sebagai penutup saya mengutip pernyataan seorang peserta diskusi.
 Kami memang terinfeksi HIV. Tapi kami juga manusia. Dan buktinya, kami masih mampu bertahan.

sumber ilustrari dari sini
foto didik/tribunlampung