Rabu, 30 November 2011

Jauhi Virusnya, Bukan Orangnya!



Beberapa waktu lalu, saya pernah mengikuti sebuah diskusi bersama teman-teman dari KPA Bandarlampung. Di forum itu mereka mengeluh betapa sulitnya menghapus stigma orang terinfeksi HIV/AIDS. Dan sialnya, secara tersirat salah satu penyebar stigma tersebut adalah kami, para jurnalis.

Kami menyebarluaskan pandangan negatif tentang penderita HIV/AIDS melalui kalimat-kalimat dalam pemberitaan. Misalnya, penggunaan kata ‘terjangkit’. Kami juga bersalah karena tidak up date istilah-istilah di kalangan HIV/AIDS. Seperti masih menggunakan kata orang dengan HIV/AIDS (ODHA) padahal saat ini istilah yang digunakan adalah Orang Terinfeksi HIV (OTH). Kami masih berkutat dengan istilah pekerja seks komersil (PSK) padahal kini ada istilah Wanita Pekerja Seks (WPS).

Saya sempat berdiskusi ringan dengan suami, tentang pengunaan istilah-istilah ini. Menurut suami, ini adalah penghalusan makna. Istilah kerennya eufisme. Dan karena kita berbicara tentang manusia, tidak ada salahnya mengikutinya.

Okelah untuk masalah ini, saya secara pribadi mulai memperbaiki diri. Membiasakan menggunakan istilah-istilah terkini dari dunia itu. Bisa karena terbiasa, benar kan?

Sulitnya Menghapusnya Stigma

Menghapus stigma OTH tidak semudah membalikan telapak tangan. Jika bertanya ke masyarakat tentang HIV/AIDS, pasti yang terlintas adalah penyakit akibat perilaku seks yang menyimpang. Pria yang suka main ke lokalisasi, gonta-ganti pasangan, dan homoseksual. Hal itulah yang digembar-gemborkan pemerintah melalui berbagai kampanye. Mulai dari bagi-bagi kondom, hingga kampanye seks aman bagi WPS.

Apakah itu salah? Tentu tidak. Hubungan seks yang tidak aman merupakan salah satu penyebab terinfeksi HIV. Tapi ini bukanlah penyebab satu-satunya. Hanya menyosialisasikan dampak hubungan seks yang tidak aman, justru semakin melanggengkan stigma HIV/AIDS adalah penyakit kelamin.

Kita pasti masih ingat surat terbuka dari Melanie Subono kepada Menteri Tifatul Sembiring. Menkominfo itu berkicau tentang HIV/AIDS di dunia maya. Sayangnya, apa yang dikicaukan sang menteri justru semakin melangengkan stigma tersebut.

Menteri Tifatul mengambarkan AIDS sebagai Akibat Itunya Dipakai Sembarangan. Hah.. Maksudnya apa ini. Tidak heran, kalau banyak komentar negatif kepada menteri yang satu ini.

Padahal kalau mau berusaha sedikit saja, kita akan mendapatkan definsi HIV/AIDS yang benar. Dari laman aidsindonesia.or.id, dijelaskan bahwa HIV merupakan retrovirus yang menjangkiti sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia, dan menghancurkan atau mengganggu fungsinya. Sehingga orang yang terinfeksi virus ini, mengalami penurunan kekebalan tubuh. Sedangkan AIDS merupakan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh. Jadi sekali lagi, HIV/AIDS bukan penyakit kelamin.

Kementerian Kesehatan merilis, secara kumulatif, hingga Juni 2011, penularan AIDS melalui hubungan seksual yang tidak aman mencapai 54,8%. Diikuti pengunaan jarum suntik yang tidak steril sebanyak 36,2%, lelaki seks lelaki (2,9%), perinatal (2,8%), dan tidak diketahui (3%).

Hingga Juni 2011, jumlah kasus AIDS di Indonesia yang terlapor mencapai 26.483. Dengan rasio antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Artinya, penderita AIDS laki-laki lebih banyak daripada perempuan.

Dari rilis yang sama, angka kematian OTH menurun dari 46% pada 2006, menjadi 22% pada 2010. Menurunnya angka kematian ini juga merupakan bukti, jika OTH dapat menjaga kondisi tubuhnya, harapan hidupnya juga tinggi.

Bandingkan dengan kanker serviks, yang kini menempati peringkat teratas di antara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian. Badan Kesehatan Dunia (WHO), menyatakan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penderita tertinggi di dunia. Setiap tahun terdeteksi lebih dari 15.000 kasus kanker serviks, dan lebih dari 8.000 kasus berakhir dengan kematian.

Jadi, sekali lagi, jauhi virusnya bukan orangnya!

gambar dari sini

Bandarlampung, Lampung  



Jumat, 11 November 2011

Ini Tentang Manusia




Pekan lalu, sebelum pulang ke rumah, saya menyempatkan diri bermain ke sekretariat AJI Bandarlampung. Beberapa hari sebelumnya, seorang teman memberitahu bahwa sejumlah pengurus KPA ingin ngobrol dengan teman2 jurnalis. Bermodalkan niat silaturahmi sekaligus menambah wawasan saya pun menyangupi.

Diantar suami, saya pun sampai ke lokasi. Meski terlambat lebih dari setengah jam, saya akhirnya sampai di lokasi. Untung saja, acara baru dimulai. Jadi saya tidak banyak kehilangan informasi. Sejumlah pengurus KPA sudah terlihat. Beberapa sudah familiar, tapi ada juga wajah-wajah baru yang belum pernah saya lihat. Beberapa rekan jurnalis  terlihat di dalam ruangan.

Pengurus KPA, Rendi membuka pertemuan kecil tesebut. Setelah petatah petitih sedikit, kami pun sampai di inti diskusi.

"Banyak istilah-istilah dalam pemberitaan teman-teman yang justru menjadi stigma bagi orang terinfeksi HIV/AIDS," keluhnya. "Misalnya kata 'terjangkit' virus..Memangnya kami ini apa, kok terjangkit. Kami ini terinfeksi. “

Mungkin bagi banyak orang apa sih bedanya terjangkit dengan terinfeksi. Toh, tidak mengubah kenyataan bahwa di tubuhnya ada virus HIV. Saya juga sulit mencari perbedaannya di kamus. Tapi setelah berdiskusi singkat dengan suami, saya pun tahu bahwa ini adalah eufisme. Penghalusan makna. Sama seperti kata wafat, mangkat, meninggal, dan tewas.



Dan setiap kali berbicara tentang HIV/AIDS, kita bicara mengenai manusia. Kita bicara tentang kehidupan. Ada kebutuhan dari manusia untuk dimanusiakan. Ada keinginan untuk dihargai. Bahwa mereka bukan sekedar statistik yang diumbar setiap awal Desember. Bahwa mereka adalah individu yang memiliki cerita, memiliki mimpi, memiliki semangat, memiliki nama.

Di kesempatan itu saya bertemu dengan banyak individu yang hebat. Ada istri yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya. Ada seseorang yang masih bisa hidup meski sudah belasan tahun terinfeksi HIV/AIDS. Ada seorang pria yang masih bisa melihat sisi humor dari stigma HIV/AIDS. Dan masih banyak lagi yang lain. Jika melihat dari semangat mereka, cara bicara mereka, insyaallah mereka mampu bertahan. Jadi picik sekali jika mengaitkan HIV/AIDS dengan moralitas.

Terinfeksi HIV/AIDS bukan akhir dari segalanya. Toh, jumlah penderita kanker paru-paru lebih banyak daripada mereka yang meninggal karena HIV/AIDS.

Sebagai penutup saya mengutip pernyataan seorang peserta diskusi.
 Kami memang terinfeksi HIV. Tapi kami juga manusia. Dan buktinya, kami masih mampu bertahan.

sumber ilustrari dari sini
foto didik/tribunlampung 





Selasa, 11 Oktober 2011

Bye Dewa 19


Dewa 19 membubarkan diri.

Entah kenapa, saya tidak terkejut membaca berita ini. Sudah bertahun-tahun rasanya saya tidak bisa menikmati lagu dewa. Kata orang, “mereka kan harus mengikuti zaman, tidak bisa stuck pada penggemar lamanya,”. Realistis alasan itu. Hanya saja saya memang rasanya tidak menemukan ‘click’ lagi saat mendengar lagu-lagu Dewa.

Tapi Dewa mempunyai warna tersendiri dalam kehidupan saya. Saya tumbuh dengan mendengar lagu Dewa. Saya mencoba memahami hidup ditemani lagu Dewa. Berlebihan memang, tapi memang itulah.

Melalui Dewa saya kenal Khalil Gibran, karena Dewa saya semakin cinta dengan Queen, berkat Dewa saya tahu obat-obatan ngak keren banget, gara-gara Dewa saya sempat tergila-gila dengan cowok gondrong dengan sedikit janggut.

Dewa sangat saya idolakan, tapi dulu.  
Saya hafal lagu Dewa, tapi yang lama.
Saya punya poster personel Dewa, tapi sudah entah kemana.
Kaset Dewa sudah ngayun suaranya, karena memang sudah lama.

Jika diibaratkan buku, Dewa sudah saya masukan ke dalam laci meja. Di dalam laci itu, ada sobekan karcis nonton pertama saya, ada foto narsis teman-teman SMP dan SMA, ada surat cinta yang tak terkirim, ada obat jerawat, ada surat penerimaan masuk perguruan tinggi. Biarkan buku beserta isinya terkunci di laci. Mungkin besok atau lusa, saya akan membuka dan membacanya kembali. Hanya sekedar mengingat cerita masa lalu yang tidak mungkin terulang.

Memang itu semua cerita masa lalu. Jadi kalau kemudian, Ahmad Dhani menyatakan Dewa akan menjadi band nostalgia, ya memang seperti itu kondisinya. Dewa adalah band yang besar pada zamannya. Sama seperti SLANK. Saya tidak lagi mendapatkan ‘click’ saat mendengarkan lagu-lagu Slank. Tapi mendoakan mereka ikut membubarkan diri juga tidak baik.

Dan balik lagi ke Dewa, terima kasih sudah menemani sebagian dari perjalanan hidup saya.

Lagu Dewa yang paling saya suka







Jumat, 29 April 2011

Belajar Sampai Negeri Cina



Salut. Empat jempol untuk ide yang sangat brilian ini. Pemerintah melalui Menteri Keuangan Agus Martowardojo berencana untuk menghapuskan premium. Bahan bakar yang digunakan hampir seluruh rakyat. 

Lupakan lonjakan harga yang akan terjadi. Lupakan penyelewengan BBM yang dipastikan akan ramai. Lupakan penderitaan rakyat.  

Pemerintah menjadikan Cina sebagai rujukan negara yang melakukan penyesuain minyak. Bagaimana hebatnya negeri itu menghadapi dua kali kenaikan harga minyak dalam kurun waktu empat bulan.

Wah, kalau memang mau belajar dari Cina, sekalian dong menghukum koruptor seperti negeri tirai bambu itu. Setiap koruptor dihukum mati tanpa kecuali. Saya sangat setuju kalau memang seperti itu. 

sumber gambar ini

Senin, 25 April 2011

RAMBO


Namanya Rambo. Usianya baru sebelas tahun. Dia sudah tidak sekolah. Aktifitasnya sehari-hari adalah merawat ayahnya yang stroke. Sudah dua tahun, dia menjadi peminta-minta. Sebuah pekerjaan yang sangat dibencinya. Tapi apa yang hendak dikata, hanya itulah yang bisa dilakukan.

Meminta belas kasihan dari para pengguna jalan yang melintasi jalan. Ada yang memberi, tapi banyak juga yang tidak. Karena tempat dia mangkal hanyalah di tengah jalan, yang tidak jauh dari gubuknya. Jika dia bekerja di tempat yang jauh, siapa yang akan memandikan ayahnya, memberikan minum kepada sang bapak.

Jangan ditanya kemana ibunya? Rambo hanya akan tersenyum getir. Sudah dua tahun dia tidak berjumpa dengan sang ibu. Perempuan bernama Nurjanah itu pergi meninggalkan rumah. Ibu yang telah melahirkannya tidak tahan menderita.

Mungkin ini yang namanya intuisi. Sang ayah menamakan anaknya Rambo, sosok fiksi pahlawan perang dari Amerika Serikat. Ternyata, anaknya, Rambo, telah menjadi pahlawan keluarga.

Anda mungkin akan menemuinya jika menyusuri jalinsum di Tanjungbintang, Lampung Selatan...

Senin, 21 Maret 2011

hiroshima

Sudah beberapa kali saya membaca buku Hiroshima. Sebuah buku yang disebut-sebut sebagai karya jurnalistik terbaik abad 21. Tapi kemarin saya memutuskan membaca kembali karya Jhon Hersey. Dan dengan kondisi Jepang yang sedang krisis nuklir seperti sekarang, membaca kembali buku Hiroshima menimbulkan nuansa yang lain.

Kali ini, kisah dalam buku itu terasa lebih hidup dan menyentuh. Bagian yang menceritakan kondisi warga yang terpapar radiasi menjadi lebih nyata. Ketika membaca itu, saya sangat membenci perang dan segala ketamakan manusia.


Saya jadi berpikir apa yang bisa saya lakukan untuk memperbaiki dunia?

Rabu, 16 Maret 2011

Pahlawan dan Pemerintah yang Lamban

Dunia kesukarelawanan Indonesia patut diacungi jempol. Dua bencana besar dalam sebulan terakhir, tsunami di Mentawai dan meletusnya Merapi, memunculkan jiwa kesukarelawanan dalam skala masif. Yang terjun untuk mengevakuasi masyarakat tak hanya berasal dari relawan yang biasa turun di lokasi bencana. Masyarakat awam saja turut urun rembuk dan menyumbang materi yang tak berbilang. Di Yogyakarta, ribuan keluarga menyiapkan rumah mereka sebagai lokasi penampungan pengungsi. Mereka juga sibuk memasak ribuan kilogram beras dan sayur-mayur serta lauk-pauk untuk pengungsi. Demikian pula tenaga kesehatan dan sukarelawan yang memberikan semangat kepada anak-anak agar cepat pulih dari trauma bencana. Di kalangan artis, sebagaimana diwartakan Kompas beberapa hari lalu, sumbangan untuk korban bencana juga mengalir deras. Piyu "Padi", Eros "Sheila on7", Ian Antono, Dewa Bujana "Gigi" bahkan mempersembahkan konser untuk korban bencana. Mereka bahkan melelang gitar kesayangan mereka agar uang yang terkumpul bisa dibelikan bahan yang dibutuhkan pengungsi. Masyarakat bekerja dengan cepat dan bertanggung jawab. Akuntabilitas mereka mengelola uang sumbangan buat korban juga patut dihargai. Tiada korupsi di situ. Dari jejaring situs pertemanan di dunia maya, puluhan juta rupiah juga berhasil dikumpulkan buat korban bencana. Dalam konteks Hari Pahlawan, merekalah pahlawan sesungguhnya. Mereka adalah pahlawan sejati yang berbuat tanpa imbal apa-apa. Semua sepakat bahwa ini adalah bencana untuk semua. Dan untuk mengatasinya, butuh filantropi juga dari semua masyarakat.
Kini kita tak perlu seperti orasi Bung Tomo yang menggelorakan jihad melawan penjajah saat menolak Belanda hadir kembali di Surabaya. Kita juga tidak perlu ditandu keluar-masuk hutan seperti Jenderal Besar Soedirman yang hidup dengan separuh paru-paru. Mereka berdua jelas pahlawan. Namun, apa yang dilakukan sukarelawan sekarang tiada berbeda dengan jasa pahlawan merebut kemerdekaan Indonesia.
Lamban
Yang ironis ialah, di tengah filantropi luar biasa ditunjukkan warganya, pemerintah kita malah lamban dalam melakukan langkah. Bencana tsunami di Mentawai, misalnya, menjadi contoh betapa rumitnya birokrasi di negeri ini. Kapal milik pemerintah yang akan mengangkut bantuan ke pulau itu malah mesti menjalani arus birokrasi yang ribet. Bantuan yang dikirim pun akhirnya centang-perenang. Makin miris saat Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno malah pergi ke Jerman untuk mempromosikan Sumatera Barat. Sungguh sebuah langkah yang di luar akal sehat. Saat rakyatnya membutuhkan support dari kepala daerah, yang diharap malah memilih "melancong".
Wasior di Kabupaten Teluk Wondama juga tak bisa kita lupakan. Setelah sebulan dipasok bantuan, kekurangan pangan kini mengancam penduduk Wasior yang masih bertahan. Untuk makan pun mereka sudah mengandalkan hasil hutan. Saking ingin makan dengan lauk, penduduk Wasior bahkan rela menangkap kelelawar sebagai santapan!
Lagi-lagi kita menemukan betapa birokrasi di negeri ini tidak responsif dengan bencana yang membutuhkan kerja cepat dan tuntas.
Merapi yang masih mengerupsi hingga saat ini seharusnya menjadi ujian yang harus dilalui dengan sukses oleh pemerintah. Jangan lagi lamban untuk bertindak. Segenap bantuan harus diatur sedemikian rupa sehingga semua pengungsi mendapatkan haknya. Kebutuhan pangan, sandang, dan papan mereka—dalam skala minimal—harus dipenuhi.
Pemerintah harus menjadikan momentum Hari Pahlawan sebagai ajang unjuk kebolehan mengurus warganya. Bertindaklah dengan segera. Responsiflah terhadap sesuatu yang butuh penanganan segera. Dan yang lebih penting, ketika ancaman bencana sudah hilang, pulihkan seperti sedia kala. Rumah yang terbakar dan rusak harus diperbaiki. Tanaman dan binatang ternak yang mati harus diberikan ganti rugi yang manusiawi.
Bencana memang merekatkan manusia dalam ranah kemanusiaan yang teramat luhur. Bantuan yang meluncur dari hati yang ikhlas adalah sumbangan yang terkira nilainya. Namun, sebagai entitas yang punya abdi negara, selayaknya semua kekuatan filantropi ini diatur oleh negara. Institusi itulah yang diharapkan menjadi jenderal yang mengatur semua lini negeri ini. Pemerintah, jangan lamban!

artikel juga bisa di baca di halaman ini

Kerusuhan dan Masyarakat Anomi

Bentrok antarwarga yang terjadi di Jabung, Lampung Timur, dan Mesuji menyisakan luka yang mendalam. Selain merusak fisik bangunan, bentrokan itu juga menorehkan beban psikilogis buat mereka yang merasakannya. Dampak terhadap hal itu barangkali berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga bayangan kekejian dan pembunuhan melekat terus diingatkan. Jika merujuk pada pewartaan media massa, konflik semacam itu sudah sering terjadi dan anehnya masyarakat mudah disulut untuk melakukan tindakan anarki. Persoalan yang sebetulnya remeh kemudian memicu konflik dalam skala yang lebih besar, bahkan menjurus pada tindak anarki dan pidana. Hilangnya nyawa dalam setiap konflik anehnya tidak dijadikan dasar buat masyarakat untuk berpikir lebih jauh atas dampak pertengkaran antarkampung itu.
Dari pembelajaran yang pernah saya ikuti dalam ranah perkuliahan, konflik yang timbul di Lampung disebabkan lunturnya falsafah hidup suku bangsa Lampung itu sendiri, yaitu piil pesinggiri. Masyarakat kini sudah tidak memedulikan perihal luhur itu. Yang ada dalam benak umumnya masyarakat ialah selama ada yang mengganggu harkat martabat, maka mereka akan mempertaruhkan apa saja, termasuk nyawa. Padahal piil pesinggiri seharusnya mendorong masyarakat Lampung untuk bekerja keras sehingga mendapat status sosial yang tinggi dan sukses dalam kehidupannya. Filosofi ini bermakna progresif, di mana masyarakat dipacu untuk aktif berusaha demi mengangkat martabat. Boleh jadi, kita yang awalnya miskin, misalnya, wajib berusaha dana bekerja giat agar segera lepas dari kemiskinan. Kita yang boleh jadi awalnya bodoh karena tak mendapat edukasi secara formal, wajib keluar dari kungkungan itu agar menjadi insan yang cerdas. Cerdas dan pintar itulah yang kemudian membuat kita tak lagi diremehkan orang lain yang berujung pada kesuksesan diri. Piil itulah yang semestinya ditempatkan pada posisi yang proporsional.
Kondisi kita di Lampung, dalam konteks bentrok antarwarga makin diperparah dengan tiadanya hukum yang ditaati di daerah tersebut atau disebut anomi. Secara antropologi, anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai dengan pandangan sinis terhadap sistem norma, hilangnya kewibawaan hukum, dan disorganisasi hubungan antara manusia. Secara psikologi, anomi bermakna gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat melahirkan perilaku menyimpang dalam berbagai manifestasi.
Hukum jarang menjamah daerah tertentu, terutama wilayah pedalaman Lampung. Yang kentara betul dalam anomi ini ialah tidak adanya pelaku yang bisa ditangkap oleh aparat keamanan untuk kemudian diproses secara hukum. Padahal kita tahu, dalam bentrokan itu ada korban yang jatuh karena dianiaya, ada rumah yang dirusak, dan pasti ada orang yang memicu kekerasan. Namun, sampai berlangsungnya musyawarah antarpihak, tidak ada satu pun pelaku yang bisa ditemukan. Seolah-olah semua terjadi dalam ruang yang lain dan kita tidak punya pranata hukum yang bisa diandalkan. Hal ini sepatutnya menjadi pekerjaan rumah buat kepolisian agar berani untuk menyelesaikan konflik dan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Jika tidak demikian, hukum kehilangan wibawanya dan polisi tidak punya perbawa lagi di mata masyarakat. Dengan kewenangan yang dimiliki, juga tambahan senjata, sudah seharusnya polisi mampu meminimalkan konflik yang ada. Apalagi ini sudah acap terjadi. Karena sering, semestinya kepolisian sudah mempunyai peta jalan atas potensi kerawanan pada beberapa desa di sana. Ini akan memudahkan kepolisian mengantisipasi dan menindak perusuh dalam konflik serupa dengan pemicu yang berbeda. Anomi di masyarakat juga disebabkan tidak ada sosok pemimpin yang kuat yang bisa dijadikan panutan warga. Umumnya dalam desa tertentu ada tetua adat, atau ulama, bisa juga tokoh masyarakat yang pandangannya diperhatikan oleh warga desa. Atau bisa juga peran ini dilakukan kepala desa, terlebih ia dipilih secara langsung oleh warga. Namun, kesulitan akan muncul tatkala tidak ada person yang secara integritas kuat dan mempunyai pengaruh yang besar. Kondisi ini yang umum dialami oleh masyarakat dalam suatu kampung. Akhirnya, seketika ada pemicu konflik, masyarakat tidak lagi berpikir panjang dan kemudian berlaku anarki.
Kita jelas tidak menginginkan kasus serupa muncul lagi. Cukuplah ini yang terakhir!
Adapun solusinya ialah masyarakat wajib kembali ke falsafah hidup orang Lampung: piil pesinggiri, yaitu etos kerja keras; nengah nyappur atau membuka diri dalam pergaulan masyarakat; nemui nyimah, sikap ramah tamah terhadap semua pihak; dan sakai sambayan atau gotong royong.
Lampung pernah berjaya sebagai sebuah masyarakat adat. Dan akan kembali berjaya jika menjalani semua kearifan lokal yang sudah ada.

artikel juga bisa dibaca di halaman ini

Judi Bola Termasuk Korupsi

Berbicara tentang sepakbola memang selalu menyenangkan. Ada banyak cerita yang ditawarkan dari si bola bundar tersebut. Soal indahnya sebuah kemenangan dan getirnya kekalahan. Belum lagi perilaku suporter yang ‘ajaib’ saat memberikan dukungan.

Idiom bola itu bundar, hingga tidak ada satupun yang dapat memastikan hasil akhir juga menjadi daya tarik sendiri. Tidak heran banyak orang yang bertaruh untuk sebuah hasil akhir permainan.

Dan kegilaan menonton sepakbola ditambah dengan kesilauan mendapatkan uang menghasilkan pecandu judi bola.

Tapi kini ada kabar yang kurang mengenakan bagi para penggila judi bola. Kegiatan judi bola disebut sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Karena keterbiasaan buruk tersebut, mereka bisa masuk ke dalam penjara.

Hal itu diatur dalam RUU Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi. RUU itu sendiri masih pemerintah dan belum dibahas di DPR.

Memang isu pengaturan skor kerap muncul dalam sebuah pertandingan. Ketika Final AFF 2010, isu tidak sedap ini muncul ketika timnas kalah di partai tandang melawan Malaysia. Atau di ISL, pengurus klub Persib pernah mengancam akan masuk LPI karena merasa selalu ‘dikerjai’ di setiap pertandingan.

Kenapa judi bola bisa masuk dalam ranah korupsi? Karena dalam judi bola, bandar akan melakukan segala cara untuk meraih keuntungan. Mulai dari pengaturan skor, menyuap wasit atau pemain. Jika si pelakunya menggunakan fasilitas Negara untuk memuluskan langkahnya, maka masuklah ia ke dalam ranah korupsi.

Pemerintah berharap, dengan dimasukkan judi bola ke dalam RUU Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, dapat membantu meningkatkan kondisi olahraga, termasuk sepakbola.

Tapi di saat pemerintah mencoba memberantas judi bola. Salah seorang terkaya di Indonesia, Putra Sampoerna justru menjadi pemilik salah satu rumah judi terbesar di dunia. Siapa sih yang tidak kenal Mansion? Rumah judi itu memiliki omset yang sangat besar, bahkan pernah menjadi sponsor klub Tottenham Hotspur. Dia menjadi penyandang dana bagi klub di Inggris itu setelah gagal mendekati MU.

Memberantas judi memang susah. Di kala senggang menunggu penumpang, saya pernah melihat tukang becak bermain gaple. Karena menggunakan uang sebagai taruhan, menurut saya itu judi.  Sambil menunggu suami pulang dari melaut, istri nelayan bermain kartu. Istilah mereka adalah “yasinan kecil”. Entah apa maksud mereka memilih istilah yasinan kecil untuk kegiatan tersebut.

Pemerintah sendiri di era 80-an, pernah menerbitkan karcis Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB). Masyarakat bisa membeli dengan bebas karcis tersebut, dan jika nomor yang dipasangnya tepat maka mereka akan mendapatkan uang. Dalam salah satu sumber, pernah disebut kalau dari bisnis ini, Sigit mendapatkan jutaan dolar setiap pekan.

Memang bukan perkara mudah untuk memberantas korupsi. Banyak orang dan kepentingan yang terlibat. Saya bukannya pesimistis, tapi mencoba realistis. Korupsi, terutama dalam bentuk judi akan sangat susah diberantas. Tapi susah bukan berarti tidak mungkin.



Gambar pinjam di sini.