Jumat, 11 November 2011

Ini Tentang Manusia




Pekan lalu, sebelum pulang ke rumah, saya menyempatkan diri bermain ke sekretariat AJI Bandarlampung. Beberapa hari sebelumnya, seorang teman memberitahu bahwa sejumlah pengurus KPA ingin ngobrol dengan teman2 jurnalis. Bermodalkan niat silaturahmi sekaligus menambah wawasan saya pun menyangupi.

Diantar suami, saya pun sampai ke lokasi. Meski terlambat lebih dari setengah jam, saya akhirnya sampai di lokasi. Untung saja, acara baru dimulai. Jadi saya tidak banyak kehilangan informasi. Sejumlah pengurus KPA sudah terlihat. Beberapa sudah familiar, tapi ada juga wajah-wajah baru yang belum pernah saya lihat. Beberapa rekan jurnalis  terlihat di dalam ruangan.

Pengurus KPA, Rendi membuka pertemuan kecil tesebut. Setelah petatah petitih sedikit, kami pun sampai di inti diskusi.

"Banyak istilah-istilah dalam pemberitaan teman-teman yang justru menjadi stigma bagi orang terinfeksi HIV/AIDS," keluhnya. "Misalnya kata 'terjangkit' virus..Memangnya kami ini apa, kok terjangkit. Kami ini terinfeksi. “

Mungkin bagi banyak orang apa sih bedanya terjangkit dengan terinfeksi. Toh, tidak mengubah kenyataan bahwa di tubuhnya ada virus HIV. Saya juga sulit mencari perbedaannya di kamus. Tapi setelah berdiskusi singkat dengan suami, saya pun tahu bahwa ini adalah eufisme. Penghalusan makna. Sama seperti kata wafat, mangkat, meninggal, dan tewas.



Dan setiap kali berbicara tentang HIV/AIDS, kita bicara mengenai manusia. Kita bicara tentang kehidupan. Ada kebutuhan dari manusia untuk dimanusiakan. Ada keinginan untuk dihargai. Bahwa mereka bukan sekedar statistik yang diumbar setiap awal Desember. Bahwa mereka adalah individu yang memiliki cerita, memiliki mimpi, memiliki semangat, memiliki nama.

Di kesempatan itu saya bertemu dengan banyak individu yang hebat. Ada istri yang terinfeksi HIV/AIDS dari suaminya. Ada seseorang yang masih bisa hidup meski sudah belasan tahun terinfeksi HIV/AIDS. Ada seorang pria yang masih bisa melihat sisi humor dari stigma HIV/AIDS. Dan masih banyak lagi yang lain. Jika melihat dari semangat mereka, cara bicara mereka, insyaallah mereka mampu bertahan. Jadi picik sekali jika mengaitkan HIV/AIDS dengan moralitas.

Terinfeksi HIV/AIDS bukan akhir dari segalanya. Toh, jumlah penderita kanker paru-paru lebih banyak daripada mereka yang meninggal karena HIV/AIDS.

Sebagai penutup saya mengutip pernyataan seorang peserta diskusi.
 Kami memang terinfeksi HIV. Tapi kami juga manusia. Dan buktinya, kami masih mampu bertahan.

sumber ilustrari dari sini
foto didik/tribunlampung 





Tidak ada komentar:

Posting Komentar