Rabu, 16 Maret 2011

Kerusuhan dan Masyarakat Anomi

Bentrok antarwarga yang terjadi di Jabung, Lampung Timur, dan Mesuji menyisakan luka yang mendalam. Selain merusak fisik bangunan, bentrokan itu juga menorehkan beban psikilogis buat mereka yang merasakannya. Dampak terhadap hal itu barangkali berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga bayangan kekejian dan pembunuhan melekat terus diingatkan. Jika merujuk pada pewartaan media massa, konflik semacam itu sudah sering terjadi dan anehnya masyarakat mudah disulut untuk melakukan tindakan anarki. Persoalan yang sebetulnya remeh kemudian memicu konflik dalam skala yang lebih besar, bahkan menjurus pada tindak anarki dan pidana. Hilangnya nyawa dalam setiap konflik anehnya tidak dijadikan dasar buat masyarakat untuk berpikir lebih jauh atas dampak pertengkaran antarkampung itu.
Dari pembelajaran yang pernah saya ikuti dalam ranah perkuliahan, konflik yang timbul di Lampung disebabkan lunturnya falsafah hidup suku bangsa Lampung itu sendiri, yaitu piil pesinggiri. Masyarakat kini sudah tidak memedulikan perihal luhur itu. Yang ada dalam benak umumnya masyarakat ialah selama ada yang mengganggu harkat martabat, maka mereka akan mempertaruhkan apa saja, termasuk nyawa. Padahal piil pesinggiri seharusnya mendorong masyarakat Lampung untuk bekerja keras sehingga mendapat status sosial yang tinggi dan sukses dalam kehidupannya. Filosofi ini bermakna progresif, di mana masyarakat dipacu untuk aktif berusaha demi mengangkat martabat. Boleh jadi, kita yang awalnya miskin, misalnya, wajib berusaha dana bekerja giat agar segera lepas dari kemiskinan. Kita yang boleh jadi awalnya bodoh karena tak mendapat edukasi secara formal, wajib keluar dari kungkungan itu agar menjadi insan yang cerdas. Cerdas dan pintar itulah yang kemudian membuat kita tak lagi diremehkan orang lain yang berujung pada kesuksesan diri. Piil itulah yang semestinya ditempatkan pada posisi yang proporsional.
Kondisi kita di Lampung, dalam konteks bentrok antarwarga makin diperparah dengan tiadanya hukum yang ditaati di daerah tersebut atau disebut anomi. Secara antropologi, anomi adalah keadaan masyarakat yang ditandai dengan pandangan sinis terhadap sistem norma, hilangnya kewibawaan hukum, dan disorganisasi hubungan antara manusia. Secara psikologi, anomi bermakna gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat melahirkan perilaku menyimpang dalam berbagai manifestasi.
Hukum jarang menjamah daerah tertentu, terutama wilayah pedalaman Lampung. Yang kentara betul dalam anomi ini ialah tidak adanya pelaku yang bisa ditangkap oleh aparat keamanan untuk kemudian diproses secara hukum. Padahal kita tahu, dalam bentrokan itu ada korban yang jatuh karena dianiaya, ada rumah yang dirusak, dan pasti ada orang yang memicu kekerasan. Namun, sampai berlangsungnya musyawarah antarpihak, tidak ada satu pun pelaku yang bisa ditemukan. Seolah-olah semua terjadi dalam ruang yang lain dan kita tidak punya pranata hukum yang bisa diandalkan. Hal ini sepatutnya menjadi pekerjaan rumah buat kepolisian agar berani untuk menyelesaikan konflik dan menegakkan hukum dengan seadil-adilnya. Jika tidak demikian, hukum kehilangan wibawanya dan polisi tidak punya perbawa lagi di mata masyarakat. Dengan kewenangan yang dimiliki, juga tambahan senjata, sudah seharusnya polisi mampu meminimalkan konflik yang ada. Apalagi ini sudah acap terjadi. Karena sering, semestinya kepolisian sudah mempunyai peta jalan atas potensi kerawanan pada beberapa desa di sana. Ini akan memudahkan kepolisian mengantisipasi dan menindak perusuh dalam konflik serupa dengan pemicu yang berbeda. Anomi di masyarakat juga disebabkan tidak ada sosok pemimpin yang kuat yang bisa dijadikan panutan warga. Umumnya dalam desa tertentu ada tetua adat, atau ulama, bisa juga tokoh masyarakat yang pandangannya diperhatikan oleh warga desa. Atau bisa juga peran ini dilakukan kepala desa, terlebih ia dipilih secara langsung oleh warga. Namun, kesulitan akan muncul tatkala tidak ada person yang secara integritas kuat dan mempunyai pengaruh yang besar. Kondisi ini yang umum dialami oleh masyarakat dalam suatu kampung. Akhirnya, seketika ada pemicu konflik, masyarakat tidak lagi berpikir panjang dan kemudian berlaku anarki.
Kita jelas tidak menginginkan kasus serupa muncul lagi. Cukuplah ini yang terakhir!
Adapun solusinya ialah masyarakat wajib kembali ke falsafah hidup orang Lampung: piil pesinggiri, yaitu etos kerja keras; nengah nyappur atau membuka diri dalam pergaulan masyarakat; nemui nyimah, sikap ramah tamah terhadap semua pihak; dan sakai sambayan atau gotong royong.
Lampung pernah berjaya sebagai sebuah masyarakat adat. Dan akan kembali berjaya jika menjalani semua kearifan lokal yang sudah ada.

artikel juga bisa dibaca di halaman ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar